MEDAN-USU: Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemenlu) menggandeng Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ( FISIP) Universitas Sumatera Utara menggelar lokakarya  Implementasi agenda 2030.

 

Pembangunan Berkelanjutan dan kesepakatan perubahan iklim.

Hadir sebagai pembicara dalam acara yang berlansung pada Kamis (17/3/2016) di Ruang Senat Gedung Pusat Administrasi USU ini antara lain: Toferry Primanda Soetikno (Direktur Pembangunan, Ekonomi dan Lingkungan Hidup KEMENLU RI), Muhsin Syihab (Kasub. Direktorat Pembangunan Berkelanjutan Direktur Pembangunan, Ekonomi dan Lingkungan Hidup KEMENLU RI), Ayi Sudrajat (Peneliti Stasiun Klimatologi Sampali BMKG), Dr. Heri Kusmanto, MA., Ph.D (Staf Pengajar FISIP USU), Prof. Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si (Guru Besar FISIP USU) dan sebagai Moderator Dr. Warjio, SS., MA (Staf Pengajar FISIP USU). Lokakarya ini lebih terfokus pada pembahasan mengenai dampak lingkungan dari pembangunan khususnya pemanasan global yang akhir-akhir ini semakin nyata dampaknya.

 

Hadir dalam membuka acara ini Dekan FISIP USU, Prof. Dr. Drs. Badaruddin, M.Si. dalam sambutannya menyampaikan harapannya semoga ke depannya kerjasama antara instansi-intansi terkait dengan isu lingkungan hidup khususnya pemanasan global ini bisa ditingkatkan dan semoga lahir formulasi yang bisa menjadi pertimbangan untuk kebijakan pemerintah ke depannya.

 

Di awal acara Dr. Warjio menyampaikan bahwa pembangunan kerap menimbulkan banyak isu dan paradoks-paradoks sehingga membutuhkan banyak perspektif dari pihak-pihak terkait khususnya Perguruan Tinggi.

 

MDGs dan SDGs

Tujuan Pembangunan Milenium (bahasa Inggris : Millennium Development Goals atau disingkat dalam bahasa Inggris MDGs) adalah Deklarasi Milenium hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mulai dijalankan pada September 2000, berupa delapan butir tujuan untuk dicapai pada tahun 2015. Targetnya adalah tercapai kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat pada 2015.

 

Target ini merupakan tantangan utama dalam pembangunan di seluruh dunia yang terurai dalam Deklarasi Millenium, dan diadopsi oleh 189 negara serta ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala negara pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New York pada bulan September 2000 tersebut.

 

Pemerintah Indonesia saat itu turut menghadiri Pertemuan Puncak Millennium di New York tersebut dan menandatangani Deklarasi Millennium itu. Deklarasi tersebut berisi komitmen negara masing-masing dan komunitas internasional untuk mencapai 8 buah tujuan pembangunan dalam Milenium ini (MDG), sebagai satu paket tujuan yang terukur untuk pembangunan dan pengentasan kemiskinan.

MDGs baru saja berakhir pada 2015, diganti dengan Agenda Pembangunan Berkelanjutan (Suistanable Development Goals/ SDGs) yang 2030 atau Agenda Pembangunan Pasca 2015 yang berlaku 1 Januari 2016 hasil dari kesepakatan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyepakati Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030.

 

Menurut Muhsin Syihab, agenda SDGs 2030 ini bersifat non-legally binding yang tidak mengikat secara penuh dan berfungsi sebagai panduan bagi agenda pembangunan berkelanjutan global-nasional demi mencapai tujuan bersama pengentasan kemiskinan yang tidak bisa dilepaskan dari penyelamatan lingkungan bumi secara bersama-sama.

 

Senada dengan pemaparan dari Toferry Pratikno, tantangan baru pembangunan global memang multiperspektif, tidak bisa dilepaskan anatar persoalan kemiskinan dan isu lingkungan, dimana kepunahan keanekaragaman hayati telah terjadi di beberapa tempat karena faktor iklim yang berubah, penurunan debit air, sampai pada pertumbuhan populasi manusia yang akan mencapai 9 milyar jiwa pada pertengahan abad ke-21.

 

Dr. Heri Kusmanto menyampaikan, kerjasama masyarakat internasional tentang lingkungan hidup sebenarnya telah dimulai pada tahun 70-an, namun kemauan politik untuk bertindak mencegah kerusakan bumi berjalan sangat lambat, akibatnya perubahan iklim menuju pemanasan global terjadi dan mengancam seluruh kehidupan di bumi. Benturan kepentingan industrialisasi kapitalistik dan penyelamatan lingkungan ternyata lagi-lagi harus menempuh perjuangan yang panjang dan secara global manusia dihadapkan pada persoalan yang sama dan mulai merubah gaya hidup dan konsumsinya, demikian disampaikannya.

 

Posisi Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 berada di antara ekspektasi yang tinggi dan kompleksitas realitas global yang jauh dari ideal. Ada kesenjangan antara harapan negara-negara PBB atas pelbagai tujuan pembangunan dan realitas global yang tak sederhana karena agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 merefleksikan pelbagai tujuan yang ideal, tetapi cukup sulit direalisasikan, terutama bagi negara-negara berkembang dan tertinggal disamping pelbagai Tujuan Pembangunan Millennium 2015 belum optimal.

 

Negosiasi Perubahan Iklim

Sebetulnya telah banyak forum-forum tingkat dunia membahas dan menelurkan kesepakatan menyikapi persoalan pemanasan global. Mulai dari deklarasi Stockholm 1972, Bruntland Report pada 1987, KTT Bumi di Rio De Janeiro Brazil pada 1992, Conference of the Perties (COP) III di Kyoto pada 1997 yang populer dengan istilah Protokol Kyoto sampai yang paling mutakhir COP 21 di Paris.

 

Beragam kepentingan kembali tarik menarik, negara maju dan perusahaan-perusahaan raksasanya seringkali dituding sebagai penyumbang terbesar dari polusi yang timbul dari industri-industri besar yang mereka miliki.

 

Dalam protokol Kyoto Hasil konferensi lantas disebut sebagai Protokol Kyoto, yang selanjutnya mengikat secara hukum bagi negara peserta untuk mengurangi emisi karbon dioksida, metana, nitrogen oksida, sulfur hexaflourida, senyawa hidro fluoro (HFC), dan perfluorokarbon (PFC).Menurut ketentuan perjanjian, negara peserta harus mengurangi emisi mereka antara tahun 2008 dan 2012 melalui berbagai cara. Protokol Kyoto mendorong pembangunan berwawasan lingkungan dan perdagangan emisi, sehingga memungkinkan negara-negara yang memenuhi kuota untuk menjual kredit ke negara-negara yang menghadapi kesulitan, skema yang lebih dikenal dengan istilah “perdagangan Karbon”.

 

Pada perkembangannya, seiring dengan berubahnya peta ekonomi global, dimana banyak negara yang sebelum Protokol Kyoto diratifikasi (ditandatangani) masih belum termasuk negara industri besar namun kenyataannya saat ini negera-negara tersebut telah menjelma menjadi kekuatan baru ekonomi dunia, misalnya: China, Korea Selatan dan Brazil.  Kondisi ini memicu lahirnya tekanan dari negara-negara industri besar untuk mengamandemen kembali protokol Kyoto dengan pertimbangan keadilan dalam kontribusi terhadap usaha yang dilakukan untuk mencegah, menahan dan atau memperlambat efek gas rumah kaca yang menjadi penyebab pemanasan global di bumi, yang dikenal dengan istilah mitigasi perubahan iklim.

 

Menyusul berakhirnya protokol Kyoto pada 8 Desember 2012 lalu sebagai hasil kesepakatan dari Pertemuan Perubahan Iklim PBB ke 18 di Doha, Qatar, maka COP21 Paris kemudian dianggap lebih aktual dalam mengakomodir kondisi terkini secara global.

 

Heri Kusmanto berpendapat:  “kesepakatan Paris pada 12 Desember 2015 dianggap dapat menggantikan Protokol Kyoto karena banyak peserta menyimpulkan bahwa COP ke-21 ini memiliki sifat legally binding, balance and fair, sehingga dapat segera disetujui peserta konferensi.

 

Masalahnya, walaupun kesepakatan ini sudah disetujui namun masing-masing negara harus meratifikasi terlebih dahulu agar dapat mencapai kesamaan sikap dan tindakan dalam menjaga agar peningkatan suhu tidak melebihi 1,5 derajat Celcius”, demikian disampaikannya.

 

Perlunya Koordinasi Semua Pihak

Menurut Prof. Hamdani, dalam lingkup lokal implementasi kebijakan PBB ini mendapat hambatan antara lain: Pengelolaan lingkungan hidup di Sumut tidak terintegrasi dan satu persepsi, tidak akuratnya data kualitas lingkungan hidup di Sumut, belum maksimalnya penegakan hukum terhadap kasus-kasus lingkungan hidup dan sampah tidak terkelola dengan baik.

 

Sedangkan dari sorotan pihak BMKG, Ayi Sudrajat menjelaskan bahwa perubahan iklim merupakan fenomena yang terjadi secara global, namun dampak dari perubahan iklim tersebut tidak dirasakan sama untuk semua tempat. Ia menambahkan, tempat-tempat yang diduga akan paling merasakan dampak perubahan iklim tersebut adalah perkotaan, dengan perubahan unsur iklim yang pasti adalah meningkatnya temperatur udara. Pada tahun 1990-2100, Intergovermental Panel On Climate Change (IPCC) memproyeksikan temperatur permukaan bumi akan meningkatantara 1.4-5.8 C (IPPC, 2001). Di Sumatera Utara terjadi perbedaan yang nyata antara jumlah bulan basah dan bulan kering pada periode tahun 1970-1993 dengan periode tahun 1970-2008, Hal ini berdampak pada adanya perubahan tipe iklim Oldeman di sumatera urata. Pada klasifikasi iklim Oldeman tahun 1993 terdapat 6 klasifikasi (A, BI, CI, DI, D2, E2) sedangkan pada klisifikasi Oldeman tahun 2009 terdapat 8 klasifikasi (A1, BI, CI, D1, D2, E1, E2, E3). suhu udara rata-rata di Sampali Medan menunjukan bahwa suhu udara rata-rata pada interval 26.0 C  - 27 C pada periode 1980 – 1995 cenderung menurun, namun pada periode1996 – 2011 suhu rata-rata pada interval 27.6 C – 28.8 C cenderung meningkat. Suhu udara antara 31.0 C -32 C meningkat. Suhu udara minimum di Sampali Medan menunjukkan peningkatan antara periode 1980-1995 dengan 1996-2011, demikian disampaikannya.

Pemerintah Indonesia sejauh sebanarnya ini cukup aktif dalam tingkat Internasional. Pada 2007 Indonesia telah sukses menggelar COP ke-13 UNFCCC di Bali,  Konferensi tersebut telah menghasilkan sejumlah keputusan dan yang paling utama di antaranya adalah Bali Roadmap yang merupakan sebuah kumpulan keputusan yang dibuat sebagai persiapan untuk konferensi PBB tentang perubahan iklim global yang kemudian diselenggarakan di Kopenhagen (Denmark) pada tahun 2009. Namun implementasi di tingkat lokal ternyata kita belum mendapatkan hasil yang signifikan.

 

Ayi Sudrajat berpendapat, tantangan terbesar dari semua arah kebijakan yang telah dibuat adalah koordinasi. Bila semua pihak yan terkait dalam upaya penanggulangan bencana akibat perubahan iklim bisa berkoordinasi dengan baik maka bencana dari perubahan iklim yang sudah nyata ini bisa dihindari atau paling tidak bisa diminimalkan.

 

Sementara dari Pihak Kemenlu, Muhsin Syihab menyampaikan di tingkat nasional ada beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain: mainstreaming 17 goals SDGs ke dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah (RPJMN); Goal,target dan indikator pembangunan berkelanjutan yang sesuai dengan kepentingan nasional; koordinasi antar Kementerian/lembaga terkait untuk memaksimalkan dan sinkronisasi implementasi Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030; melibatkan seluruh Stakeholder (inklusif) dan sosialisasi Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan kepada seluruh pemangku kepentingan.

 

Senada dengan hal diatas, Heri Kusmanto mennyampaikan, globalisasi tidak hanya memliki makna ekonomi, melainkan terutama menyangkut arus sains dan teknologi, gagasan-gagasan dan informasi secara terbuka, karen akehidupan bukanlah suatu komoditas yang dapat diperdagangkan dan dipersaingkan, melainkan diperjuangkan bersama, demikian disampaikannya.( humas)

PetaIkonikUSU