MEDAN-USU: Kearifan lokal merupakan suatu topik yang sangat relevan dengan Universitas Sumatera Utara yang terkait dengan Talenta Bintang USU. Demikian dikatakan Penjabat Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Subhilhar, PhD, saat sebelum membuka acara seminar nasional yang diadakan oleh Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, Rabu (27/01/2016). Disebutkan, Talenta Bintang adalah cita-cita Universitas Sumatera Utara yang terlampir dalam Rencana Strategi (Renstra) 2015-2019 dan Rencana Jangka Panjang (RJP) USU 2015-2039.

Arsitek 1Rincian Talenta Bintang, ujarnya, fokus pada penelitian tentang Tropical Science and Medicine, Agroindustry, Local Wisdom, Energy (suistainable), Natural Resources (biodiversity, forest, marine, mine, tourism), Technology (appropriate) dan Arts (ethnic). “Menurut saya kearifan lokal dibidang arsitektur itu bukan pada bentuknya tapi esensinya,” ucap Prof. Subhilhar. Menurutnya lagi, banyak peninggalan bangunan yang didirikan saat ‘jaman Belanda’ dulu sangat detil pada fungsi, tidak hanya estetika saja, seperti atapnya yang kalau dilihat selalu agak curam, karena curah hujan di Indonesia tinggi. Begitu pula beberapa bangunan seperti Istana Kesultanan Deli yang menggabungkan beberapa unsur dari Negara tertentu. “Hal itu tentu saja menambah kekayaan seni arsitektur bangunan saat itu,” kata Prof. Subhilhar.

 

Didampingi oleh Kepala Dinas Pariwisata Pemko Medan Hasan Basri, Ketua Departemen Arsitektur Fakultas Teknik USU Ir. N. Vinky Rahman, MT, dan Dekan Fakultas Teknik Prof. Bustami Syam, Penjabat Rektor USU berharap, seminar nasional ini berjalan dengan lancar dan dapat menghasilkan sesuatu yang baik yang bisa dimanfaatkan tidak hanya bagi sivitas akademik tapi juga masyarakat luas.

 

Sementara Ketua Departemen Arsitektur Fakultas Teknik USU Ir. N. Vinky Rahman, MT, menjelaskan tujuan diadakannya acara tersebut adalah pertama, menggali gagasan, pandangan, dan pemikiran, melalui hasil-hasil penelitian. Yang kedua, lanjutnya, untuk meningkatkan kepedulian terhadap nilai-nilai kearifan lokal dalam pembangunan di Indonesia, dimana kedua tujuan itu berhubungan dengan arsitektur dan pariwisata; perumahan dan pemukiman; sosial dan budaya serta teknologi bangunan berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal dalam lingkungan binaan.

 

Seminar Nasional berlangsung selama 2 hari yakni 27 hingga 28 Januari 2016, diadakan di Ruang Rapat Senat Akademik gedung BPA USU, dan mengangkat Tema “ Kearifan Lokal Dalam Arsitektur Dan Lingkungan Binaan”

Arsitek 2Seminar Nasional itu dihadiri oleh 120 peserta dari Universitas Sumatera Utara, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, SMA Negeri 2 Limboto Gorontalo, UIN Ar Raniry Banda Aceh, dan Universitas Syiah Kuala, serta 55 orang pemakalah dari beberapa PTN dan PTS diantaranya Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh, ISBI Bandung, ITB, UIN Alauddin Indonesia, Universitas Bhayangkara Surabaya, Universitas Brawijaya, Universitas Dipenogoro, Universitas Mataram, UGM, Universitas Hasanuddin Makassar, Universitas Padjadjaran, Universitas Pelita Harapan, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Sriwijaya, Universitas Syiah Kuala, USU, dan University College London.

 

Dengan Sub-Tema yaitu arsitektur dan pariwisata; perumahan dan pemukiman; sosial dan budaya; teknologi bangunan; seminar itu menghadirkan pembicara utama, yakni Prof. Ir. Prasasto Satwiko, MBsc, PhD (Universitas Atma Jaya Yogyakarta), Prof. Ir. Nawawiy Loebis, MPhil, PhD (USU), dan Dr. Wahyu Utami, ST, MT (USU). Dengan judul makalah “Kearifan ‘Ilmu Bangunan’ Lokal” pembicara pertama, Prof. Ir. Prasasto Satwiko mengatakan, kearifan bangunan lokal merupakan pengetahuan yang tumbuh berkembang di suatu masyarakat untuk mengatur relasi manusia-arsitektur-lingkungan agar tercipta wadah hidup yang menyejahterakan. Definisi kearifan lokal menurutnya, dapat diartikan sebagai suatu kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan hidup; pandangan hidup (way of life) yang mengakomodasi kebijakan (wisdom) dan kearifan hidup.

 

Kearifan lokal yang berkelanjutan, lanjutnya, adalah kearifan yang terus dapat mengikuti segala perubahan yang terjadi. Disimpulkannya, kearifan ilmu bangunan lokal telah telah menghadapi beberapa tantangan baru yang tidak ada presedennya. Keterbukaan terhadap pengetahuan dari luar dan mengadaptasinya untuk konteks lokal akan memeberi kesempatan bagi pengetahuan lokal untuk terus berkembang secara berkelanjutan.

 

Sementara Prof. Ir. Nawawiy Loebis sebagai pembicara kedua dengan judul makalah “Kearifan Lokal: Sebuah Keniscayaan” menyebutkan, kearifan lokal adalah hal yang sudah ditakdirkan untuk selalu ada, sebagai suatu kondisi yang membedakan suatu objek lain dan satu tempat dengan tempat lainnya, karena pada dasarnya tidak ada dua tempat yang persis sama dimuka bumi ini, sama halnya dengan tidak adanya dua individu yang persis sama dimuka bumi. Dalam konteks ketidaksamaan inilah , kearifan lokal selalu hadir sebagai penyelamat eksistensi kemanusiaan. Karena tanpa perbedaan fisik, karakteristik serta aura tidak akan terbentuk seorang individu dan tidak akan terbentuk pula suatu tempat (place) sehingga tidak ada yang disebut arsitektur. Maka mengabaikan kearifan lokal adalah sebuah keniscayaan.

Arsitek 3Lalu Dr. Wahyu Utami sebagai pembicara ketiga dengan judul makalah “Lokalitas dalam kajian (Pusaka) Saujana” menjelaskan, pusaka saujana adalah gabungan pusaka alam dan pusaka budaya dalam kesatuan ruang dan waktu (Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia 2003). Saujana (cultural landscape) bukanlah sebuah ilmu baru. Saujana sebagai suatu interaksi, setidaknya memuat beberapa hal, diantaranya yaitu lokalitas yang dalam konteks ini dipahami sebagai suatu nilai lokal dari masyarakat tertentu yang berada pada bentukan fisik yang spesifik yang tercermin dalam skala kota, kawasan, dan atau bangunan.

 

Salah satu kegagalan tata ruang, ujarnya, adalah pariwisata yang tidak memperhatikan konsep saujana yang sebenarnya sudah terbentuk sebelumnya sehingga banyak merusak tata ruang wilayah, lalu ledakan pendatang pada lokasi wisata juga turut andil memperburuk kondisi tersebut.

 

Kesuksesan tata ruang, lanjutnya, bisa dibentuk karena adanya kesatuan ruang dalam suatu wilayah yang wilayah tersebut merupakan bagian dari yang lebih besar. “Bisa dijelaskan bahwa saujana merupakan suatu pemahaman lintas wilayah administrasi, karena melihat ruang bukan sebagai batas fisik namun dari sosial budayanya,” tutup Utami.(humas)

PetaIkonikUSU