MEDAN – HUMAS USU : Program Studi S1 dan S2 Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU bekerjasama dengan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sumatera Utara dan Forum Runggu Masyarakat Karo (FORMAKA) menggelar Seminar Budaya bertajuk “Identitas Karo Dalam Perspektif Kebinekaan”, yang berlangsung di Ruang Agra Raz Hotel and Convention Jl Dr T Mansur Medan, Selasa (22/1). Pertemuan tersebut dihadiri oleh para dosen, sejarawan, para pemerhati dan praktisi budaya, dan mahasiswa.

DSC09453 640x427Tampil sebagai narasumber dalam seminar tersebut, Dr Ketut Wiradnyana, M Si dari Badan Arkeologi Medan, Dr Suprayitno, M Hum dari Universitas Sumatera Utara, Dr Dardanila, M Hum dari Universitas Sumatera Utara, Dr Erond L Damanik, M Si dari Universitas Sumatera Utara, Drs Wara Sinuhaji, M Hum dari Universitas Sumatera Utara dan Drs Sada Arih Sinulingga, SH, MH dari Budayawan Karo.

DSC09432 640x427Dalam sambutannya yang disampaikan melalui tayangan rekaman video, Rektor USU Prof Dr H Runtung Sitepu, SH, M Hum, mengucapkan selamat atas penyelenggaraan seminar. Ia berharap dari seminar akan lahir pemikiran baru terhadap sejarah dan budaya Karo. Juga agar seluruh masyarakat Karo dapat menjejaki kembali asal-usulnya, sehingga tidak mendapatkan informasi yang keliru.

Sementara Dekan Fakultas Hukum USU, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, saat membuka acara menyatakan bahwa dalam perspektif kebinekaan, Karo itu sangat heterogen.

DSC09437 640x427
“Dalam masyarakat Karo hanya terdapat lima marga, yakni Karo-karo, Ginting, Tarigan, Sembiring dan Perangin-angin. Namun seiring perkembangan di dalam masyarakat Karo, sub marga itu menjadi banyak. Begitupula halnya dengan keyakinan. Masyarakat Karo memeluk banyak agama. Mulai dari agama kepercayaan, Islam, Kristen, dan lain-lain. Namun semua bisa berdampingan dalam damai,” kata Prof Budiman.

DSC09670 640x427Dr Ketut Wiradnyana, M Si, dalam paparannya mengambil pembahasan bertajuk “Merekonstruksi Sejarah Budaya di Wilayah Toba, Karo dan Gayo dari Data Arkeologis”. Ia merunut perjalanan budaya yang berlangsung sejak dari masa prasejarah yang memungkinkan terjadinya migrasi kelompok manusia dari kawasan China Selatan. Migrasi tersebut yang dalam persebarannya antara lain melahirkan nenek moyang masyarakat Karo. Rekonstruksi budaya yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan data arkeologis.

DSC09676 640x427Sedangkan Drs Sada Arih Sinulingga, SH, MH, membidik materi berjudul “Karo dengan Batak Tidak Memiliki Hubungan Kontinuitas”. Tema ini sempat viral dan menjadi trending topic dalam berbagai media sosial maupun pembicaraan terbuka. Menurut Drs Sada Arih, penting membicarakan topik ini sebagai upaya pelurusan atas kekeliruan yang telah terjadi selama ini, atas adanya pendapat atau anggapan dari kalangan luar Karo yang menyebut Karo sebagai bagian dari Batak, alias Batak Karo. Padahal, Karo memiliki jati dirinya sendiri sebagai identitas yang berbeda dengan Batak.

DSC09447 640x427Adapun Drs Wara Sinuhaji, M Hum, memilih pembahasan bertopik “Dekonstruksi Pemikiran Karo Bukan “Batak“: Sebuah Alternatif Pemikiran” dan Dr Dardanila, M Hum, membahas “Pewarisan Fonem Vokal Proto Austronesia ke Bahasa Karo”. (Humas)

PetaIkonikUSU