MEDAN-HUMAS USU: Antropologi sebagai sebuah ilmu yang mempelajari perilaku masyarakat ditengarai mempunyai peran penting dalam kebijakan publik. Melalui pertimbangan dari sisi Antropologi, sebuah kebijakan diharapkan akan tepat sasaran karena telah menganalisa perilaku masyarakat akan kebijakan itu sendiri.

Dr Nurmala Kartini Pandjaitan Sjahrir, Antropolog senior dan juga Ketua Majelis Wali Amanat Universitas Sumatera Utara (MWA USU) menyebutkan peran antropolog tidak dapat dipisahkan dalam setiap kebijakan publik. Menjadi narasumber dalam Kuliah Umum Antropologi secara daring, Rabu (16/6/2021), Kartini menekankan Antropolog untuk proaktif memberikan masukan kepada pemangku kebijakan mengenai suatu kebijakan yang akan diterapkan.

“Peran Antropolog dalam setiap kebijakan publik adalah sebuah keniscayaan, sebuah keharusan, sebuah tugas mulia untuk dapat memberikan gambaran terkait perilaku masyarakat, cara hidup, cara pandang, agar sebuah kebijakan itu tepat sasaran,” sebut Kartini.

WhatsApp Image 2021 06 16 at 12.03.04

Hal senada disampaikan Wakil Rektor I USU, Dr Edy Ikhsan, SH, M Hum yang hadir mewakili Rektor USU. Ia berpendapat kebijakan publik layaknya melalui berbagai tahapan sebelum diputuskan menjadi sebuah kebijakan. Tahapan tersebut membutuhkan analisa dari Antropolog menurutnya.

“Kebijakan publik yang diambil dan diputuskan oleh para pemangku kebijakan serta stakeholder umumnya telah melewati berbagai tahapan sebelum diberlakukan kepada masyarakat. Antropologi sebagai ilmu yang berbasis pada studi perilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupannya memegang peran penting baik sebelum sebuah kebijakan diambil maupun dalam tataran implementasinya,” ujar Edy Ikhsan.

Lebih lanjut, Kartini mengatakan Antropolog diharuskan mampu untuk memahami keadaan masyarakat Indonesia. Keberagaman yang sudah menjadi ciri khas masyarakat Indonesia menjadi patron utama Antropolog untuk memahami perilaku masyarakat.

“Indonesia itu pada dasarnya adalah masyarakat yang majemuk, terdiri dari beragam suku, agama, dan etnis. Ini harus dipahami terlebih dahulu oleh seorang Antropolog. Tidak bisa seorang Antropolog punya pola fikir ekslusif, harus inklusif. Antropolog harus dapat menerima setiap perbedaan yang ada, agar ia dapat menggunakan alam fikirannya memahami perilaku masyarakat,” ujarnya.

WhatsApp Image 2021 06 16 at 12.03.01

Peran Antropolog dalam sebuah kebijakan publik menjadi penting karena tidak semua kepala daerah mampu menangkap perilaku masyarakat yang ada tersebut. Ditambah dengan keberagaman masyarakat yang sangat majemuk dinilai berpotensi menjadikan kepala daerah membutuhkan rekomendasi konkrit sebelum mengeluarkan kebijakan.

“Banyak kepala daerah belum mampu melihat dan menganalisa perilaku masyarakatnya, dan ini menjadi tugas Antropolog. Saya berikan satu contoh bagaimana saya memberikan masukan kepada Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Menteri Kemaritiman dan Investasi, dan juga kepala daerah di kawasan Danau Toba mengenai pembangunan toilet di kawasan Danau Toba,” sebutnya.

Ia memaparkan sebagai seorang Antropolog, menjadi tugasnya untuk memberikan pemahaman tentang perilaku masyarakat di kawasan tersebut terkait pembangunan toilet. Banyak masyarakat menilai toilet sebagai sebuah tempat untuk membuang kotoran, maka wajar jika kotor. Namun, hal ini berpengaruh negatif terhadap peningkatan pariwisata yang ada di daerah itu.

“Daerah Sipinsur banyak disebut sebagai Swiss-nya Indonesia. Namun, saat saya datang kesana, toiletnya sangat memprihatinkan. Sebagai Antropolog, saya harus menjelaskan korelasi antara pembangunan toilet dan kebersihan dengan peningkatan pariwisata. Secara konkrit saya memberikan rekomendasi untuk dilakukan lomba desa bersih di kawasan tersebut, untuk memicu kebersihan agar meningkatkan pariwisata,” kata Kartini.

WhatsApp Image 2021 06 16 at 12.03.00

Ia juga mengingatkan peran Antropolog sangat luas dalam kehidupan masyarakat. Antropolog saat ini menurutnya sudah saharusnya masuk ke dalam setiap level kebijakan, bahkan dalam sebuah pertikaian atau sengketa. Antropolog diharapkan mampu menangkap perilaku pihak yang bertikai dan berdiri di tengah untuk menjadi fasilitator dalam rekonsiliasinya.

“Antropolog harus masuk dalam setiap aspek kehidupan, baik pendidikan, kesehatan, politik, bahkan dalam sebuah sengketa. Antropolog harus dapat menangkap adanya ketidakadilan dan penindasan yang terjadi, sehingga dapat ditemukan solusi yang tepat agar terselesaikan sebuah persoalan,” pungkasnya.

Kuliah umum itu sendiri merupakan kuliah umum ketiga yang dilakukan oleh Prodi Antropolog FISIP USU. Turut hadir Dekan dan Wakil Dekan FISIP USU, Ketua serta staf pengajar Prodi Antropologi, akademisi lintas perguruan tinggi, para mahasiswa, serta tamu undangan. (RR)

PetaIkonikUSU