Medan-USU: Kain Ulos yang diberikan kepada seseorang memliki makna tentang penyampaian nilai kasih sayang dari yang Maha Kuasa dan dari si pemberi kepada si penerima. Nilai dan tradisi tersebut sangat baik untuk dipertahankan, dimana saat ini gejala kekerasan dan konflik masih sering terjadi dalam kehidupan masyarakat, seperti konflik antar etnik yang baru-baru ini terjadi di Tanjung Balai (Sumatera Utara).


Pentingnya untuk memelihara nilai-nilai kasih sayang dalam kehidupan bermasyarakat, tidak hanya bagi orang Batak tetapi secara nasional. Kita dapat merasakan begitu pentingnya mempertahankan nilai-nilai budaya yang dapat meredam perilaku kekerasan. Demikian seperti yang disampaikan oleh Dekan FISIP USU Dr Muryanto Amin MSi, pada sambutannya dalam acara Seminar Nasional ULOS.


Seminar yang dilaksanakan baru-baru ini berlangsung diruang Sidang Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik USU itu dihadiri oleh para pemangku kepentingan, seperti Dinas Pariwisata kabupaten disekitar Danau Toba yaitu kabupaten Tobasa, Humbahas, Tapanuli Utara, Pakpak, Dairi, Simalungun, dan Karo. Kabupaten ini merupakan daerah dimana pemilik ulos dan variasinya berdomisili.

Seminar UlosTurut hadir juga dalam seminar itu para penggiat, pemerhati dan pengerajin ulos, serta partonun (penenun) yang melakukan demo bertenun dengan alat tenun “gedogan” yang dibawa dari kecamatan Silalahi dikabupaten Dairi, Tapanuli Utara dan Tobasa. Peserta lainnya adalah para dosen-dosen FISIP USU, mahasiswa departemen Antropologi dan para pemerhati kebudayaan Batak lainnya.


Rangkaian seminar ULOS ini diawali dengan presentasi narasumber yang pertama, Dra Rytha Tambunan MSi dari departeman Antropolog FISIP USU yang membahas Ulos dalam kajian Antropologis. Rytha mengatakan bahwa Kain Tenun Ulos adalah atribut budaya dan sebagai identitas bangsa Batak. Ulos berarti menghangatkan tubuh dan tondi. Ragam hias dan motif, pembuatan dan fungsinya sarat dengan nilai-nilai filosofis dan estetika. Pemberiannya juga terkait dengan Struktur Kekerabatan Dalihan Natolu yang bermakna kasih saying, dan penyampaian menjadi berkat dari si pemberi ke penerima.


Sedangkan narasumber kedua, Nelson Siregar STh membahas tentang Etno Religi Ulos. Nelson mengatakan, Ulos sangat dekat dengan konsep religi orang Batak. Ulos tidak hanya sebagai kain tetapi lambang kasih sayang. Sementara narasumber ketiga Prof Dr Sya’ad Aifuddin SE MEc, membahas ulos dari kajian Ekonomi Kreatif, dan membahas peluang kerajinan ulos yang dapat dikembangkan secara berkelanjuatan.


Terakhir, narasumber keempat adalah Merdi Sihombing yang merupakan seorang designer dan pelaku Community Development, dan Lecture. Dalam paparannya, Merdi Sihombing mengungkapkan bahwa dia telah bekerja sepanjang karirnya untuk melakukan inovasi dan reinventarisasi serta revitalisasi terhadap kain tenun nusantara termasuk Ulos. “Masih panjang jalan yang harus dilalui untuk mengangkat ulos ke dunia internasional”, sebut Merdi.


Hasil Seminar Nasional itu merangkum semua aspek yang terkait didalamnya. Masyarakat Sumatera Utara, khususnya orang Batak dikenal dari kain ulos. Ulos dengan motif etnik Batak bisa menjadi mata budaya Indonesia. Kain tenun ulos merupakan sebuah wujud kebudayaan yang sarat dengan makna sosial dan budaya serta sekaligus menjadi mata budaya.


Ragam hiasan ulos tradisional mengandung nilai-nilai filosofi Batak, ulos juga menampilakan seni yang kreatif dan unik. Mengambil motif dari alam flora atau fauna yang dituangkan dalam sehelai kain ulos. Motif Ulos dirancang, dimodifikasi, kemudian ditenun dengan hati-hati, dari helai demi helai benang sampai menjadi sehelai ulos dengan motif yang indah dan akan menjadi nama dari si Ulos itu sendiri.


Seminar ditutup dengan menyampaikan Tona Ulos. Melalui Tona Ulos tersebut tersirat harapan-harapan bagi pengembangan kerajinan ulos, begitu pula bagi kesejahteraan penenunnya, serta dikabulkannya Hari Ulos Nasional yang diperingati pada setiap tanggal 17 Oktober oleh pemerintah RI. (Andi/Humas).

PetaIkonikUSU