Rektor USU mengukuhkan 2 Guru Besar Tetap USU masing-masing Prof. Dr. Ir. Sayed Umar, MS, sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Pertanian dan Prof. Dr. Suwarto, SH, MH sebagai Guru Besar Tetap Hukum USU di Gelanggang Mahasiswa Sabtu, 12 Desember 2009.

 

Dalam pidato pengukuhannya yang berjudul "Potensi Perkebunan Kelapa Sawit Sebagai Pusat Pengembangan Sapi Potong Dalam Merevitalisasi Dan Mengakselerasi Pembangunan Peternakan Berkelanjutan", Sayed Umar memaparkan bahwa Provinsi Sumatera Utara memiliki potensi yang strategis dan memegang peranan penting sebagai pendorong swasembada daging nasional dan perkebunan kelapa sawit memiliki potensi besar sebagai penghasil sumber bahan pakan ternak sapi untuk mendukung pengembangan pusat pembibitan dan Penggemukan sapi di perkebunan kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit dapat dijadikan sebagai sentra pengembangan industri pembibitan sapi, industri penggemukan sapi dan industri pakan ternak sapi berbasis produk samping dan limbah perkebunan kelapa sawit.

 

Prof. Dr. Ir. Sayed Umar yang lahir di Sigli, 8 Juni 1944 juga mengharapkan bahwa pemerintah kabupaten dapat memfasilitasi pembentukan badan/tim kemitraan bersama yang terdiri dari kelompok peternak, investor, pihak perkebunan kelapa sawit dalam pengembangan peternakan di perkebunan kelapa sawit. Juga perkebunan harus berani merubah kebijakan secara bertahap untuk membuka peluang diversifikasi kelapa sawit-sapi pola integrasi yang terkendali dan saling menguntungkan. Terakhir ia menambahkan bahwa perkebunan disarankan perlu membuat kebijakan khusus tentang bantuan kepada masyarakat di sekitar perkebunan kelapa sawit dalam memperoleh bahan baku limbah dan produk samping kelapa sawit untuk pakan ternak yang disalurkan melalui koperasi/kelompok peternak sebagai salah satu program Corporate and Social Responsibility(CSR).

 

Sementara itu Prof. Dr. Suwarto (lahir di Medan, 5 Mei 1956), dalam pidato pengukuhan yang berjudul "Pengembangan Ide individualisasi Pemidanaan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita" berbicara mengenai wanita dan tindak kriminal. Ide individualisasi pemidanaan tercantum dalam Pasal 12 UU No.12/1995 tentang Pemasyarakatan, dimaksudkan agar pembinaan narapidana disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku, seperti umur, jenis kelamin, jenis kejahatan dan lamanya pidana yang dijatuhkan. Di samping itu pembinaan narapidana didasarkan kepada sepuluh prinsip dasar pemasyarakatan, yang tercermin dalam Pasal 5 UU No. 12/1995, dan hak-hak dasar kemanusiaan yang tercantum dalam Pasal 14 UU No. 12/1995.

 

Dalam pelaksanaannya dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, dan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 mengenai syarat dan tatacara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan. Dengan demikian pembinaan narapidana berdasarkan ide individualisasi pemidanaan disesuaikan dengan Pasal 12, Pasal 5, dan Pasal 14 UU No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Implementasi ide individualisasi pemidanaan dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan narapidana wanita belum terlaksana sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 12 UU No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, bahkan masih terdapat beberapa kendala yang mendasar, seperti daya tampung yang sangat minim, sumber daya manusia baik segi kualitas maupun kuantitasnya sebagai tenaga untuk melatih keterampilan para narapidana kurang, serta dana yang sangat minim. Dengan demikian program dan jadwal pembinaan tidak dapat terlaksana sebagaimana yang telah dijadwalkan. Di samping itu pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara walaupun telah diimplementasikan ke dalam UU No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan tidak dapat membawa perubahan terhadap pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan.

 

Lebih lanjut Suwarto mengatakan pengembangan ide individualisasi pemidanaan di masa depan membutuhkan para pembina lembaga pemasyarakatan yang berdedikasi dan profesional di bidangnya. Bentuk bangunan lembaga pemasyarakatan ditingkatkan, untuk dapat menampung jumlah narapidana yang melebihi kapasitas. Di samping itu metode dan bentuk pembinaan narapidana disesuaikan dengan kebutuhan belajar narapidana sehingga tercapai tujuan pembinaan sebagai mana yang diharapkan. Peran serta kelompok masyarakat/pihak swasta dalam membina narapidana melalui kerja sama yang baik dalam usaha yang dikelola oleh pihak swasta dapat membuat narapidana terampil sehingga apabila keluar dari lembaga pemasyarakatan dapat hidup mandiri dan diterima di tengah-tengah masyarakat. Adanya lembaga pemasyarakatan terbuka sebagai alternatif dari pidana jangka pendek atau pidana singkat dapat mengatasi kelebihan kapasitas di dalam lembaga pemasyarakatan, karena narapidana tidak harus masuk lembaga pemasyarakatan tetapi dikerjakan di lembaga pemasyarakatan terbuka, sehingga dapat menjadikan narapidana aktif dan produktif di masyarakat. (vie)

PetaIkonikUSU